Kampung Konawe
Unaaha, – Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Lembaga Pro Jokowi (Projo) Konawe mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Konawe menyelesaikan polemik pemekaran sejumlah desa di Kabupaten Konawe. Desakan ini muncul setelah ditemukannya desa-desa yang dimekarkan secara inprosedural.
Seperti polemik pemekaran desa di Kecamatan Anggotoa yang saat ini berstatus kecamatan baru. Sedikitnya ada 7 desa yang dinyatakan bermasalah disana dari 12 desa yang masuk daerah Kecamatan Anggotoa. Tak hanya itu, berdasarkan hasil investigasi mendalam yang dilakukan Projo, setidaknya ada sekitar 3 kecamatan lainnya yang punya kasus yang sama dengan jumlah sekitar 20-an desa.
Kepala Bidang (Kabid) Hukum DPC Projo Konawe, Abiding Slamet mengatakan, polemik pemekaran desa ini sebenarnya bukan hal yang tak diketahui oleh DPRD maupun Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Konawe, namun sampai saat ini belum ada penjelasan maupun keterangan yang diberikan oleh dua lembaga yang punya peran sentral dalam pemekaran desa itu.
“Ini yang kami tidak mengerti sampai saat ini, karena beberapa kali kami layangkan permintaan untuk menyelesaikan masalah pemekaran desa ini belum juga disahuti. DPRD Konawe misalnya, sudah berapa kali kami meminta untuk dilakukan hearing namun belum juga dikabulkan, sementara kasus-kasus lain yang kami laporkan lebih dulu sudah dituntaskan.” ungkap Abiding saat ditemui di Sekertariat Projo Konawe, Rabu (3/5) kemarin.
Abiding menjelaskan, polemik pemekaran desa ini punya kasus yang sama dimana-mana di Konawe ini. Jumlah penduduk menjadi hal paling utama dalam kasus ini, dimana dari semua desa yang ditemukan bermasalah, rata-rata jumlah penduduknya hanya berada pada seperdua dari jumlah yang ditetapkan Undang-Undang Desa.
“Dalam UU Desa dijelaskan, khususnya Sultra minimal 400 Kepala Keluarga (KK) ketika hendak dimekarkan, namun ini paling banyak cuman 200 KK. Belum lagi rata-rata desa ini didefinitifkan hanya dibawah tahun. Jelas ini melanggar aturan yang ada dan DPRD maupun Pemda Konawe harus segera menyelesaikan masalah
ini.” jelas Abiding.
Selain itu, menurut Abiding, fasilitas pemerintahan desa yang belum memadai harusnya menjadi pertimbangan Pemda Konawe dalam merekomendasikan pemekaran desa, sebab salah satu indikator yakni fasilitas dan menjadi hal yang wajib dalam prosedur.
“Rujukan pemekaran desa jelas, UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, PP No 47 pengganti PP No 43 dan Permendagri No 1 Tahun 2017. Disinilah harusnya pemerintah mengambil rujukan. Ini yang buat kami bingung, jika memang ada kajian lain harusnya itu diterangkan. Sekarang kami minta pemerintah maupun DPRD
menyangga ini, apa kami yang tak paham regulasi atau mereka yang tidak tau aturan.” tegas Abiding.
Untuk itu, lanjut Abiding, Projo Konawe mendesak agar masalah ini secepatnya kelar, sebab jika masih dibiarkan, pihaknya tidak akan segan-segan menggiring persoalan ini ke proses hukum, sebab banyak kasus hukum yang terjadi di dalam.
“Kalau ini tidak segera ditindak, maka orang-orang yang terlibat dalam masalah ini akan kami laporkan ke pihak berwenang. Semua yang terlibat, termaksud Kepala Desa (Kades) yang menjabat yang dilaporkan, sebab belum secara sah dinyatakan oleh UU.” tutup Abiding. (KS/Red)