UNAAHA – Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa menunjukan bagaimana kekuatan ekonomi Kabupaten Konawe saat ini jika dibandingkan daerah lain di Sulawesi Tenggara (Sultra).
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Sultra baru-baru ini, Kabupaten Konawe menduduki peringkat tertinggi dalam pada laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB).
Kepemimpinannya bersama Wakil Bupati Konawe Gusli Topan Sabara menunjukkan bahwa Konawe mampu eksis ditengah Pandemik Covid-19 yang melanda Indonesia. Bahkan di 2019, pertumbuhan PDRB Konawe mencapai 11,84 persen. Capaian tersebut membuat Konawe menduduki posisi pertama di Sultra.
Selanjutnya di tahun 2020, Konawe masih tetap perkasa. Bagaimana tidak, laju pertumbuhan PDRB 2020 berada diangka 6,42 persen. Meski merosot, nilai tersebut masih jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya yang mendapat nilai nol koma bahkan minus.
“Karena Covid, trennya memang melambat. Tetapi di Konawe laju PDRB masih positif. Padahal, hampir semua daerah di Sultra grafiknya mendekati nol bahkan ada yang negatif,” ungkap Kery.
Bupati dua periode ini menerangkan strategi membangun yang diterapkan di Konawe adalah berdasarkan prinsip dasar pembangunan yang merujuk pada Undang-undang (UU) Otonomi Daerah. Dimana, UU tersebut memiliki tiga semangat, yakni bagaimana meningkatkan pelayanan publik, daya saing daerah serta kemandirian daerah.
“Makanya walaupun sudah dihantam Covid-19, daerah kita masih kuat. Masyarakat kita masih mampu dari segi daya beli. Sektor manufaktur kita juga masih mampu berproduksi. Itu bedanya kita di Konawe dengan daerah lain di Sultra,” kata orang nomor satu di Konawe ini.

Sementara itu, Sekda Konawe Ferdinand Sapan menuturkan, pandemi Covid-19 sudah pasti berimbas pada melambatnya laju PDRB di semua wilayah se-Sultra. Namun khusus wilayah Konawe, grafik PDRB masih lebih baik ketimbang daerah lainnya.
Ia menyebut, salah satu kemungkinan penyebab laju PDRB di daerah lain yang grafiknya mendekati nol bahkan minus, tak lain dikarenakan wilayah-wilayah di luar Konawe tersebut bukan merupakan daerah produksi.
“Mungkin selama ini, wilayah di luar Konawe itu hanya mengandalkan sektor jasa. Termasuk, wilayah-wilayah kota Kendari, Bau-bau bahkan Kolaka. Jadi begitu sektor jasa terdampak Covid-19, sektor lain ikut kena (terdampak) semua. Artinya, mereka tidak punya alternatif lain untuk menopang pertumbuhan ekonominya,” kata Ferdinand Sapan.
Pria yang akrab disapa Ferdi itu menjelaskan, Konawe merupakan daerah produksi sehingga dampak pandemi tidak begitu dirasakan oleh masyarakat. Katanya, laju PDRB di Konawe hanya melambat sekira 5 persen pada tahun 2020 berdasarkan data terbaru yang dikeluarkan BPS.
Lanjut Ferdi, Konawe sebagai daerah produksi tak sekadar mengandalkan sektor pertanian saja. Melainkan, juga bertumpu pada sektor manufaktur sebagai penopang perekonomian di wilayah setempat.
“Kita punya industri, tapi bukan yang ada di kecamatan Morosi saja. Ada juga industri lain, seperti pengolahan. Termasuk sawit dan penggilingan padi. Itu kan industri pengolahan semua. Itu yang mendorong dan menopang angka pertumbuhan ekonomi kita di Konawe,” jelasnya.
Kemudian, faktor lain yang membuat perekonomian di Konawe masih menggeliat adalah aspek kemandirian daerah yang didukung oleh kebijakan politik penganggaran di Konawe yang sedikit berbeda dibanding politik penganggaran pada daerah lainnya.
Perbedaan tersebut salah satunya dapat dilihat pada upaya Pemda dalam mendorong sektor pertanian, supaya mampu menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat. Dirinya menjelaskan, dalam struktur APBD itu ada dua urusan, yakni urusan wajib dan urusan pilihan.
“Urusan wajib, semua daerah harus melakukan itu. Termasuk di dalamnya infrastruktur. Tetapi untuk urusan pilihan, masih ada daerah yang tidak concern ke situ,” sambungnya.
Ia menambahkan, bisa jadi urusan pilihan di suatu daerah itu, hanya fokus membiayai belanja pegawai saja. Beda halnya di Konawe, urusan pilihan fokus pada mendorong sektor pertanian.
“Maka tidak heran kalau Konawe menjadi satu-satunya daerah di Sultra yang tidak membayar Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP). Sebab yang jadi pertanyaan, kebijakan penganggaran kita itu sebenarnya mau berpihak ke mana. PNS atau masyarakat secara keseluruhan. Sudah jelas, kita berpihak ke masyarakat,” pungkasnya. (Red)