KABARANOA.ID: KONAWE – Nasrun (50), warga Kelurahan Hopa-hopa, Kecamatan Wawotobi, Kabupaten Konawe, sibuk berkeliling mengamati satu-persatu tanaman vanili, di halaman belakang rumahnya.
Sambil berkeliling, kedua tangannya memilah dan memangkas beberapa pucuk vanili, memangkas batang pucuk dalam dunia budaya vanili populer disebut stressing.
“Ketika akan berbuah itu memang kita harus stressing pucuk yang semakin menguning agar vanili semakin banyak buahnya,” ujar Nasrun, Senin (17/10/2022).
Stressing katanya, mesti rutin dilakukan saat masa panen tiba, pada proses ini mesti ekstra berhati-hati, sebab getah batang pucuk vanili usai dipangkas, dapat menyebabkan iritasi dan rasa gatal jika tersentuh kulit.
Nasrun bercerita, usai tamat sekolah ia memutuskan bertani lada, mengikuti jejak kakek dan ayahnya sebagai petani, hingga membawanya dipercaya menjadi penyuluh pertanian swadaya dan sempat berkeliling pulau Jawa di tahun 2008.
“Awalnya saya itukan petani lada, saya berkecimpung di situ, bahkan sempat diangkat jadi penyuluh swadaya keliling Pulau Jawa memberikan materi untuk membantu masyarakat,” kenang suami Rita Febrianti ini.
Cerita Nasrun berlanjut, sewaktu di pulau Jawa, ia banyak berkawan dengan komunitas pertanian di sana, jaringannya meluas, semua informasi dikumpulkan dan peluang bisnis terbuka, hingga akhirnya ia tahu tempat menjual hasil pertanian dari Konawe, salah satunya vanili.
Vanili baginya bukan hal asing, di tahun 2000-an silam, Nasrun pernah menanamnya, ia belajar otodidak dari sebuah buku tentang petunjuk cara budidaya, vanili dijadikan sampingan bertani Lada.
“Kebetulan itu hari ada buku karena pada saat itu belum ada hape seperti sekarang, saya coba cari bagaimana cara menanam vanili bagaimana cara kita mengawinkan vanili dan prakteknya,” ungkap Nasrun sumringah.
Namun keberuntungan belum berpihak, harga beli tiba-tiba anjlok jelang masa panen tiba, langkahnya terhenti, hasil yang diperoleh tak sebanding dengan modal Rp350 ribu untuk membeli bibit kala itu. Turunnya harga bagi petani sudah lazim terjadi saat masa panen tiba.
Tapi kegagalan bagi ayah tiga anak ini, bukan masalah, di akhir tahun 2018 akhir, ia kembali mencoba, bibit vanili diperoleh dari tanaman di lahan kebunnya yang tersisa.
“Alhamdulillah sudah mulai pembuahan di tahun 2019, kali ini dengan modal tenaga karena bibitnya dari sisa vanili di kebun saya waktu menanam dulu,” tuturnya.
Panen pertama dari vanili di tahun itu menurutnya cukup menjanjikan dengan perawatan yang menurutnya lebih mudah, terlebih minim serangan hama.
Perlahan Nasrun mengalihkan separuh luas lahan yang selama ini ditumbuhi lada, untuk budidaya vanili varietas super.
Berjalan empat tahun budidaya Vanili, Nasrun mampu meraup keuntungan hingga puluhan juta, total sudah lima puluh kilo vanili kering dan basah dihasilkan, dari hasil itu ia membangun kembali rumahnya.
Kerap kali ia dikunjungi mahasiswa untuk penelitian, pun dikunjungi wisatawan asing tepatnya dari Philipina dan Perancis, sebuah moment yang tidak pernah ia duga seumur hidup.
Saat ini Nasrun mempunyai ribuan pohon vanili, seperempat jumlahnya ia tanam di halaman belakang rumah, dengan masa panen antara enam hingga tujuh bulan, masa panen yang terbilang cepat di dataran 100 MDPL ke bawah, apalagi dengan suhu udara tinggi.
Berbagai metode telah dilakukan, mulai dari stressing, perkawinan putik dan proses penjemuran, karena itu Asosiasi Petani Vanili Indonesia yang diketuai oleh Rudi Ginting, di Jakarta, menobatkan Nasrun sebagai Duta Vanili Sulawesi Tenggara tahun 2019.
Dalam benak Nasrun, ia berharap semakin banyak petani di desanya yang mau menanam Vanili, sebab peluang keuntungan bisa menjanjikan asap dapur terus mengepul agar kehidupan petani semakin lebih baik. (Anca)