Dibalik megahnya rumah para penguasa di tanah Konawe, rupanya ada sosok yang selama ini tak pernah diperhatikan. Nurhadi (50) kakek asal Karang Anyar, Jawa Tengah yang berprofesi sebagai pemulung yang tinggal di depan kompleks Rumah Jabatan (Rujab) para petinggi daerah Kabupaten Konawe.
Setahun lebih sudah kakek Nurhadi bertetangga dengan pemangku kepentingan namun belum juga dapat apa-apa. Jangankan materi, lirikan mata para penguasapun tak pernah dirasakannya. Padahal, gubuk reot milik Nurhadi hanya berjarak 100 meter dari Komplek Rujab.
Di depan komplek Rujab itu, kakek Nurhadi hidup sebatang kara di gubuk reot miliknya. Jangankan kemewahan, kata layakpun tak pantas disandangnya. Tempat berteduh milik kakek Nurhadi itu hanya berukuran 3×5 meter persegi saja, beratapkan rumbia beralaskan tanah berdindingkan aneka macam sisa buangan
material orang lain.
Setiap harinya, di sinilah Nurhadi menghabiskan waktunya, mulai dari memilah barang hasil mulungnya atau sekedar merenggangkan tulang usai seharian mengayuh gerobak miliknya. Di dalam kamarnya hanya ada sebuah kelambu lusuh, kasur bekas dan selimut yang entah bagaimana bentuk awalnya.
Di dalam rumahnyapun hampir tak ada ruang kosong akibat dipenuhi dengan tumpukan sampah hasil mulungnya. Barang yang dinilainya masih bisa di simpan di masukkannya di dalam rumah. Sekelilin rumah hanya ada perobatan bekas, alat masak dan makanpun nyaris tak dapat dibedakan dengan tumpukan sampah lainnya.
Dalam rumahnya yang penuh sesak itu, kakek Nurhadi bukannya bisa nikmat menghabiskan waktu, sebab dirinya harus rela berbagi tempat dengan ternak peliharaannya di samping tempat tidurnya. Bau busuk dan ditemani lalat jadi pemandangan pertama saat masuk rumah Nurhadi, menengok ke kamar siap-siap melihat kotoran ternak miliknya.
Tak ada kata menyesal terbersit dibenaknya sekalipun. Baginya, semua yang dirasakannya saat ini sudah merupakan takdir dia yang hanya bisa diterima sambil memohon pada yang kuasa sesuatu yang lebih bermanfaat buatnya dan keluarganya kelak.
Berbekal gerobak yang telah dimodifikasi, sehari-hari Nurhadi menyusuri tengah Koto Unaaha mulai dari jalan protokol hingga ke gang-gang guna mencari barang bekas yang kiranya tak dibutuhkan lagi bagi orang lain. Tak lupa perlengkapan lainnya seperti kail dan sepatu butut setia melindungi kakinya.
Dari hasil memulungnyalah dirinya sedikit demi sedikit menafkahi keluarganya. Sehari maksimal pendapatannya hanya Rp25 Ribu. Untuk makan sendirinya dirinya kadang mengambil kerja tambahan tawaran dari orang yang membutuhkan tenaganya.
Meski diusainya yang terbilang tak muda lagi, Nurhadi masih terlihat energik untuk melakoni rutinitasnya. Meski bagi sebagian orang seusianya memilih beristirahat dirumah, baginya keluarga adalah hal utama. Tak ada alasan untuk berhenti mencari sedikit rejeki di negeri kerinduan tanah Konawe ini.
Nurhadi sendiri merupakan warga transmigrasi yang ditempatkan di UPT Lasao Kecamatan Asinua pada tahun 2009 lalu. Dirinya pertama kali menginjakkan kaki di Konawe bersama istrinya dan empat orang anaknya. Di Lasao dirinya merasa kesulitan, sebab daerah itu tak banyak yang dapat diperbuat akibat pengaruh alam. Akibat itulah tahun 2015 dirinya memutuskan untuk ke Unaaha.
Sedang keluarganya, akibat gagal berkembang di Lasao dipulangkannya lebih dulu ke kampung halamannya tanah jawa. Selama di Unaaha, dirinya melakukan segala macam kerjaan hingga akhirnya menetapkan dirinya sebagai pemulung. Di akhir
tahun 2015, dirinya memutuskan untuk menetap di depan komplek Rujab Pejabat Konawe di Kelurahan Ambekairi, Kecamatan Unaaha, Kabupaten Konawe.
Nurhadi membangun gubuknya di atas tanah seorang dermawan yang meminjankan tanahnya, hitung-hitung jadi penjaganya. “Daripada sewah kos-kosan kan biaya lagi. Setidaknya begini meski pas-pasan ngak mikirin biaya lagi tiap bula.” kata Nurhadi
dengan nada malu-malu.
Nurhadi mengaku tak pernah merasa malu dengan profesinya, sebab menurutnya prinsip utamanya adalah selama masih sehat maka masih ada usaha yang bisa dilakukan dibanding dengan berbuat yang tidak-tidak.
Nurhadi sendiri punya satu keingan besar, yakni kembali ke kampung halaman bertemu keluarganya. Dirinya berharap kelak ia mampu kembali bersama keluargannya ke tanah Konawe dengan kehidupan yang lebih baik.
CERMIN RETAK GAMBARAN KEMISKINAN DI KONAWE
Ironis memang, ditengah propaganda yang digaungkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Konawe sebagai wilayah yang memberantas kemiskinan, rupanya berbanding terbalik dengan cerminan yang ada di depan komplek Rujab Pejabat.
Bukan hal asing memang ada warga miskin dalam sebuah wilayah, namun gubuk reot di depan istana adalah gambaran luar biasa kegalalan sebuah pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.
Alih-alih Pemkab Konawe bahkan menggagas Peraturan Daerah (Perda) tentang pemberantasan kemiskinan tahun 2016. Namun sayang, Perda kini tinggal tulisan, bebas kemiskinan tinggal cerita. (**)
Penulis : Faiz