Kampung Konawe
Unaaha, – DPC Projo Konawe kembali membeberkan fakta baru pada polemik pemekaran desa di Kabupaten Konawe. Kuat dugaan, dari 17 desa yang dipersoalkan, hingga saat ini kesemuanya belum ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) sebagai sebuah wilayah baru.
Menariknya, Projo menyebut, meski belum diperdakan, dari 17 desa baru ini semuanya telah berstatus daerah definitip. Padahal, dengan belum diperdakannya itu, sebuah wilayah baru dapat disebut ilegal sebagai acuannya belum ada, sehingga mendefinitipkan desa yang diperdakan dianggap sebagai kesalahan fatal.
“Jelas menjadi masalah. Perda adalah acuan untuk menetapkan batas sebuah wilayah, atau hal lain menyangkut pemekaran. Kalau belum ada Perda lalu didefinipkan acuannya dari mana,” kata Kepala Bidang Hukum dan Otada DPC Projo Konawe, Abiding Slamet saat menggelar jumpa pers, Minggu (15/10) malam.
Abiding menjelaskan, dengan belum adanya Perda ini, dirinya memastikan adanya tindak pidana yang terjadi di di dalamnya. Karena telah membuat penyimpangan administrasi. Pemda Konawe dan DPRD pun jadi sasaran sebagai lembaga eksekutor dan fungsi pengawasan.
Selain membeberkan indikasti pelanggaran pemekaran, Abiding turut menyoroti pelaksana desa yang bukan berasal dari lingkup Aparatur Sipil Negara (ASN). Dirinya menegaskan hal ini telah melanggaran Permendagri Nomor 1 tahun 2017 tentang pelaksana desa.
“Temuan-temuan ini akan kami persoalkan. Masalah pemekaran khususnya indikasi belum adanya perda tadi akan kita bawa ke PTUN, akan kita gugat Pemda maupun DPRD. Kita akan minta agar semua desa yang bermasalah ini dikembalikan ke induk saja.” Tegas Abiding.
Apalagi kata Abiding, pengelolaan desa yang baru dimekarkan pun amburadul. Sebab sebagai desa baru diharapakan mampu mempermudah pelayanan, malah sebaliknya. Sebab desa induk hingga kini tak menyalurkan dana untuk desa baru, sehingga desa baru tidak bisa memberikan pelayanan akibat tak memiliki anggaran.
Untuk diketahui, 17 desa yang dimekarkan tersebut tersebar di beberapa Kecamatan. Diantaranya Kecamatan Besulutu, Sampara, Soropia, Wawotobi, Anggotoa dan Kecamatan Latoma.
Di dalamnya Projo menyoroti kebijakan Pemda Konawe maupun DPRD yang memekarkan desa baru tanpa mengindahkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Dimana diatur untuk wilayah Sultra syarat pemekaran desa baru adalah minimal jumlah penduduk 2000 jiwa atau 400 KK.
Namun kenyataannya, Projo menemukan bukti di lapangan jika pemekaran desa-desa baru tidak memenuhi syarat itu, bahkan jumlah maksimal penduduk dari desa-desa tersebut hanya sekitar 150 KK dan paling rendah 10 KK. (KS/Red)